Selasa, 20 April 2010

KISAH PUTIH TUTI

Aku membencimu sejak pertama kali kita bertemu..

Ingin rasanya malam tak berlalu sehingga hari aku bertemu denganmu tak perlu terjadi.

Hari ini wajah bunda dan ayah terlihat begitu sumringah. Bunda sibuk memasak berbagai hidangan istimewa. Ayah pun hari ini sengaja membolos dari jadwal olahraga bersama teman-temannya. Setelah sholat subuh tadi aku sengaja tidak keluar kamar, malas rasanya harus beranjak dari tempat tidur.

“Tari, bangun sayang. Ayo mandi lah, sebentar lagi mereka tiba.” Suara Ayah samar-samar terdengar dari balik selimutku.

Perasaanku semakin tak menentu menjelang saat-saat aku bertemu denganmu.

Dengan langkah ogah-ogahan aku menuju kamar mandi. Tak berapa lama kemudian pintu kamar mandi diketuk, disusul oleh suara Bunda “Cepat mandinya Nak, mereka sudah datang”

Selesai mandi aku menuju ruang tamu, kulihat seorang lelaki seumuran Ayah bersama anak perempuan yang sebaya denganku. Oh..ini rupanya gadis yang beberapa minggu terakhir ini sering disebut-sebut di rumah ini.

Dia berdiri dan menjulurkan tangannya, “ Saya Tuti, wah..memang benar yang dikatakan Pak Lek Son kalo Mbak Tari sangat cantik.”

Kujabat tangannya dengan tak bersemangat, kulihat dia tersenyum sambil menjabat erat tanganku. Segera kutarik tanganku dan memandang jijik pada gadis itu. Apalagi ketika mendengar suaranya yang medok seperti itu. Membuat telingaku risih.

Lelaki yang disebut Pak Lek Son itu tersenyum kecil terlihat malu-malu. Ini kali ke dua aku bertemu dengan lelaki itu, beberapa minggu yang lalu dia juga pernah datang ke rumah ini. Menurut cerita bunda Pak Lek Son adalah kenalan ayah di desa tempat Ayah Praktek Kerja Lapangan sewaktu masih kuliah. Aku masih ingat apa yang terjadi pada hari setelah kedatangan Pak Lek Son waktu itu, aku dan Ayah bertengkar hebat setelah aku mendengar bahwa keluargaku akan mengadopsi anak gadis pemilik rumah kos sewaktu ayah di desa itu. Kedua orang tua gadis itu meninggal karena kecelakaan, sedang dia tidak mempunyai kerabat lagi. Kala itu aku sangat terpukul.



Aku semakin membecimu setelah hidup bersamamu…

Ketakutanku yang menurut Bunda sangat tidak beralasan kini mulai terbukti. Satu persatu bagian hidupku mulai kau ambil. Keberadaanmu sangat membuatku tak nyaman, merasa asing di rumahku sendiri.

“Kok baru pulang nak, kamu dari mana? Bunda telepon kok ndak diangkat. Kata Tari hari ini tidak ada les tambahan sehingga bisa pulang lebih awal.” tanya bunda dari ruang keluarga.

Aku tidak menoleh atau menjawab semua itu, dengan cepat kulangkahkan kaki menuju kamarku.

“Tari kenapa kamu diam saja, pertanyaan Bunda tidak kamu jawab. Apa kamu sudah makan? Ayo makan lah dulu, nanti kamu sakit nak.” Suara Bunda terdengar semakin mendekat.

Akhirnya terpaksa aku bersuara, “Aku tidak lapar dan sedang ingin sendiri.”

Kemudian aku masuk kamar dan segera menutup rapat pintu kamar. Saat ini kamarku merupakan satu-satunya tempat di rumah ini yang membuatku merasa nyaman. Aku mulai tersedu, Bunda sekarang lebih tahu tentang Tuti daripada tentang diriku. Bahkan Bunda lupa kalau hari ini aku ada seleksi lomba tari sehingga harus pulang terlambat.

Aku merasa Ayah dan Bunda lebih banyak bercengkrama dengan Tuti daripada denganku. Setiap kami bertemu selalu saja mereka menceritakan ini itu semuanya tentang Tuti. Ini semua membuatku semakin tidak tahan.



Aku benar-benar sangat membencimu saat ini…

“Darimana kau dapatkan jam tangan itu?” tanyaku dengan sedikit membentak.

Tuti terlihat gelagapan, dengan lirih dia menjawab, “ Tadi Mas Arya…”

Kini darahku seakan sudah berada di ubun-ubun, setelah dia mengambil satu-persatu milikku kini dia pun tanpa kusadari telah mengambil lelaki yang kutaksir sejak aku duduk di bangku SMP.

Aku benar-benar muak melihat wajahnya. Tidak tahan lagi dengan semua ini.

“Cepat berikan itu padaku!” selaku lagi, sebelum dia meneruskan kata-katanya.

Sebelum dia sempat menjawab, aku segera menarik paksa jam tangan itu dari tangannya dan tak peduli dengan wajahnya yang meringis kesakitan. Segera kujatuhkan ke lantai dan kuinjak. Kudengar dia sedikit terisak ketika kutinggalkan.

Ah..itu belum seberapa dibanding dengan semua air mata yang aku keluarkan semenjak dia ada di rumah ini.

Setelah hari itu, aku bersumpah untuk membencimu seumur hidupku…

Ponselku bergetar dan kulihat ada satu pesan dari Bunda,“Tari, kamu di mana. cepat ke rumah sakit. Tuti kecelakaan nak, dia sangat membutuhkanmu saat ini.”

Apa peduliku dengan dia, malah bagus lah memang dia pantas menderita. Aku tak menghiraukan sms Bunda dan mematikan ponselku.

Sorenya ketika aku pulang, kulihat rumahku tengah riuh oleh banyak orang.

Ketika memasuki rumah, bunda segera menghambur di pelukanku.“Tuti tidak terselamatkan nak, lukanya sudah sangat parah. Tadi dia terus saja mencarimu namun kamu tidak datang-datang juga” Bunda berbicara sambil terus terisak. Terlihat kepedihan mendalam dari sorot matanya.

Sore itu juga jasad Tuti dikebumikan.

Malamnya entah mengapa aku merasa terdorong memasuki kamar tuti. Selama tiga bulan dia tinggal di rumah ini belum pernah sekali pun aku masuk ke kamarnya.

Kamarnya rapi begitu lengang hanya barang-barang pokok saja yang ada di sana. Di atas meja kamarnya ada sebuah foto Tuti bersama seorang lelaki dan perempuan yang lebih tua dari Ayah dan bunda, mungkin keluarganya.

“Apa ini?” pikirku. Benda bulat dari kaca, sepertinya tidak asing bagiku. Akuariumku yang sudah lama kubiarkan di gudang, kini terlihat begitu cantik diberi hiasan kertas warna silver. Di dalamnya ada banyak gulungan kertas kertas lipat berbagai warna di tengah setiap gulungan diikat dengan pita emas.

Rasa penasaran mendorongku untuk membuka gulungan-gulungan itu. Oh..di bagian luar gulungan ada nomornya.

Kuambil nomor satu, sebuah gulungan berwarna kuning.



Rindu terucap dihembus angin ke Surga

Terbayang senyum merekah di sana

Tiga malaikat menghapus duka lara dunia

Hampa tak lagi bernaung di jiwa

Dari tanggal di bagian atas kertas aku bisa tahu kalau puisi itu ditulis pada hari pertama Tuti datang di rumah ini.

Gulungan nomor dua berwarna ungu tua.



Berdiri melawan perih di diri

Bermimpi sang bidadari tak lagi merintih

Hari-hari penuh ilusi

Menanti kasih sang bidadari

Aku mulai bisa merasakan suatu kedukaan dari puisi ini.


Begitu rapuhkah aku

Bertahan saja aku tak mampu

Luka yang menganga…

Semakin membuat tak berdaya

Aku menitikkan air mata membacanya, ingatan saat aku merebut dan merusak jam tangan pemberian Arya berkelebat dalam pikiranku.

Ekor mataku melihat ada beberapa kertas lipat berwarna merah jambu di atas tumpukan buku. Sepertinya itu kertas-kertas yang seharusnya jadi gulungan selanjutnya milik Tuti. Kulihat tanggal di bagian atas, ternyata baru di tulis kemarin. Kali ini ditulis bukan dalam bentuk puisi.

Wahai jelita..

Belum juga kah dirimu mengerti begitu besar sayang ini. Semenjak mendengar akan bersaudara denganmu, bahagia selalu bernaung di jiwa. Mendamba hari-hari yang indah. Namun hingga malam ini belum juga kulihat binar kasih di matamu. Aku tak ingin mengambil alih semua milikmu, sama sekali tak ingin, hanya sedikit berbagi. Ayah dan Bunda selalu bercerita betapa bangga dan bahagia memilikimu. Namun tahukah wahai saudaraku, beranjak dewasa semakin sibuk dengan dunia masa muda, kau mulai tak punya barang sedikit saja waktu buat bercengkrama bersama. Tak pernah mau lagi menyisihkan sedikit hari menemani Bunda berhobi. Kadang mereka merasa sepi merindu saat-saat bersama bidadarinya.Aku akan tetap selalu menyayangimu saudaraku. Ketika kau cabik-cabik hati ini, aku tahu itu hanya karena dirimu masih memberontak belum terbisa berbagi. Aku akan sabar menanti dan akan selalu menyayangimu seumur hidupku wahai saudaraku…

Kuletakkan kertas merah jambu itu. Tetes air mata mengalir satu-persatu di pipi. Penyesalan yang tak bertepi kini tak kan bisa mengobati.

Aku akan sangat merindukanmu seumur hidupku, Tuti..

0 komentar:

Posting Komentar